Indikator :
Siswa dapat :
1.
Menjelasakan pengertian
peradilan
2.
Menjelaskan fungsi peradilan
3.
Menjelaskan hikmah peradilan
4.
Menjelaskan pengertian dan
kedudukan hakim
5.
Menyebutkan syarat-syarat hakim
6.
Menjelaskan tata cara peradilan
menjatuhkan hukuman
7.
Menjelaskan adab kesopanan/etika
hakim
8.
Menjelaskan kedudukan hakim
wanita
9.
Menjelaskan pengertian saksi
10. Menjelaskan kesaksian tetangga dan orang buta.
11. Mendiskusikan macam-macam bukti
12. Menjelaskan pengertian penggugat dan tergugat
13. Menjelaskan sumpah dan sumpah tergugat
MATERI :
Gambar di atas, merupakan proses peradilan di Indonesia. Kalau berbicara
masalah peradilan, maka tidak akan terlepas dari keadilan. Sesungguhnya
keadilan itu merupakan salah satu dari nilai- nilai Islam yang tinggi. Hal ini
disebabkan menegakkan keadilan dan kebenaran ketentraman, meratakan keamanan,
memperkuat hubungan-hubungan antara individu dengan individu lain, memperoleh
kepercayaan antara penguasa dan rakyat itu sangat dibutuhkan dalam proses
peradilan, agar keadilan dapat diwujudkan.
Sesungguhnya keadilan itu
dapat diwujudkan dengan menyampaikan setiap hak kepada yang berhak dan dengan
melaksanakan hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah SWT. serta dengan
menjauhkan hawa nafsu melalui pembagian yang adil di antara sesama manusia.
Sebenarnya, tugas para Rasul Allah tidak lain adalah untuk menjalankan dan
melaksanakan urusan ini.
Di antara sarana-sarana yang
terpenting untuk mewujudkan keadilan, menjaga dan memelihara kehormatan jiwa
dan harta benda ialah menegakkan sistem peradilan yang diwajibkan oleh Islam
dan dijadikannya sebagai bagian dari ajaran-ajarannya. Orang yang pertama kali
memegang jabatan ini dalam Islam adalah Rasulullah.
Pembahasan dalam bab ini
menyangkut masalah proses peradilan dalam Islam yang terdiri dari fungsi
lembaga peradilan, menyangkut masalah hakim, saksi, bukti, tergugat penggugat,
sumpah dan Peradilan Agama di indonesia.
- PROSES PERADILAN DALAM ISLAM
1.
Pengertian Peradilan
Peradilan diambil dari kata qadha ( Bahasa Arab ) yang
terjemahannya adalah memutuskan, memberi keputusan, menyelesaikan. Secara bahasa
juga dapat berarti menyempurnakan sesuatu baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Peradilan menurut istilah adalah suatu
lembaga pemerintahan / negara
yang ditugaskan untuk menyelesaikan /
menetapkan keputusan atas
setiap perkara dengan adil berdasarkan
hukum yang berlaku. Secara istilah syara’ al-qadha berarti memutuskan
persengketaan di antara manusia untuk menghindarkan perselisihan dan memutuskan
pertikaian, dengan menggunakan hokum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah SWT. Dengan
demikian kalau peradilan Islam, maka yang dijadikan dasar adalah hokum Islam.
Sedangkan pengertian pengadilan adalah tempat untuk
mengadili suatu perkara dan orang yang bertugas mengadili suatu perkara
disebut qodhi atau
hakim.
2.
Fungsi Peradilan
Sebagai
lembaga negara yang
ditugasi untuk menyelesaikan
dan memutuskan setiap perkara
dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk
menciptakan ketertiban dan ketentraman
masyarakat yang dibina
melalui tegaknya hukum. Peradilan Islam
bertujuan pokok untuk menciptakan kemaslahatan umat dengan tegaknya
hukum Islam. Untuk terwujudnya hal
tersebut di atas, peradilan Islam
mempunyai tugas pokok :
a.
Mendamaikan kedua
belah pihak yang
bersengketa.
b. Menetapkan sangsi dan menerapkannya kepada
para pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
c. Terciptanya amar ma’ruf nahi munkar
d.
Dapat
melindungi jiwa, harta dan kehormatan masyarakat.
e.
Menciptakan
kemaslahatan umat dengan tetap tegak berdirinya hukum Islam
3. Hikmah Peradilan
Sesuai
dengan fungsi dan
tujuan peradilan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dengan adanya peradilan akan diperoleh hikmah yang sangat
besar bagi kehidupan umat, yaitu :
a. Peradilan
dapat mewujudkan masyarakat yang bersih. Hal ini sesuai dengan
hadits Rasulullah SAW:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله
ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ كَيْفَ تَقَدَّ سَ اُمَّةٌ لاَ يُؤْخَذُ
مِنْ شَدِيْدِ هِمْ لِضَعِيْفِهِمْ. (رواه ابن
مجاه)
Artinya:”Dari Jabir berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:
” Tidak (dinilai) bersih suatu masyarakat dimana hak orang yang lemah diasmbil
oleh yang kuat”. (H.R.
Ibnu Hibban).
b.
Terciptanya aparatur pemerintah
yang bersih dan berwibawa.
c.
Terwujudnya perlindungan hak
setiap orang. Tiap orang mempunyai hak asasi yang tidak boleh dilanggar oleh
orang lain. Sabda Rasulullah SAW. :
عَنْ جَا بِرٍ قَا لَ :سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : كَيْفَ تُقَدِّ
سُ اُمَّةٌ لاَ يُؤْ خَذُ مِنْ
شَدِيْدِهِمْ لِضَعِيْفِهِم ( روه ابن
حبا ن)
“Dari Jabir katanya : Saya dengar Rasulullah
SAW. bersabda : Tidak dinilai bersih suatu masyarakat, dimana hak orang yang
kuat diambil oleh orang yan kuat.”( H.R. Ibnu Hiban
)
Pasal 22 Undang-Undang dasar RI 1945 berbunyi :
1)
Segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya.
2)
Tiap-tiap warga Negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan nyang layak bagi kemanusiaan.
d.
Terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat. Allah berfirman:
إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها
وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن الله نعما يعظكم به إن الله كان سميعا
بصيرا
)النّساء:٥٨)
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.
” ...Dan
Allah (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil.”(QS. An Nisa’/4: 58)
e. Terciptanya keamanan, ketentraman,
kedamaian.
f. Dapat mewujudkan suasana yang mendorong untuk meningkatkan ketaqwaan kepada
Allah SWT bagi semua pihak. Allah berfirman :
يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين لله شهداء
بالقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى واتقوا الله إن
الله خبير بما تعملون
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
”... Berlaku
adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa ...”.
(QS.
Al Maidah 5: 8)
- KETENTUAN TENTANG HAKIM DAN SAKSI
DALAM PERADILAN ISLAM
1. Hakim
a.
Pengertian dan kedudukan Hakim
Hakim ialah orang yang
diangkat oleh pemerintah untuk menyelesaikan persengketaan dan memutuskan hukum
suatu perkara dengan
adil. Dengan kata
lain, hakim adalah orang yang
bertugas mengadili, ia mempunyai kedudukan yang terhormat selama
berlaku adil.
Peradilan adalah fardhu
kifayah untuk menghindarkan kedholiman dan memutuskan persengketaan. Penguasa
wajib mengangkat hakim untuk menegakkan hukum di kalangan masyarakat dan barang
siapa menolak, maka dipaksakannya jabatan itu. Apabila ada seorang manusia yang
peradilan itu tidak pantas kecuali diberikan padanya, maka dia ditunjuk dan
wajib baginya menerima jabatan itu. Islam menganjurkan agar hukum ditegakkan di
antara manusia dengan cara yang benar, dan menyatakan bahwa perbuatan yang
demikian itu adalah perbuatan yang disukai. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنُ أَوْفَى أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى الله ُ عَلَيِهِ
وَسَلَّمَ قَا لَ :اِنَّ الله َ مَعَ القَا ضِى مَا لَمْ يَجُرْ فَإِ ذَا جَارَ
تَخَلَّى الله ُ عَنْهُ وَلَزِمَهُ الشَّيْطَانُ ( روه ابودودوالترمذى )
“
Dari ‘Abdullah bin Abu Aufa, bahwa Nabi saw. bersabda : “Sesungguhnya Allah
beserta hakim selagi hakim itu tidak curang. Bila hakim itu curang, maka Allah
akan meninggalkannya maka baginya neraka “ ( H.R. Abu Dawud dan
Tirmidzi )
Sedangkan kedudukan hakim sangat mulia selama ia berlaku adil. Sabda Nabi SAW,
:
اِذَا جَلَسَ الْقَا ضِىْ فِى مَكَا
نِهِ هَبَطَ عَلَيْهِ مَلَكَا نِ يُسَدِّ دَانِهِ وَيُوَفِّقَا نِهِ
وَيُرْشِدَانِهِ مَا لَمْ يَجُرْ
, فَإِ ذَاجَا رَ عَرَجَا وَتَرَكَاهُ (
رواه البيهقى )
" Apabila seorang hakim duduk ditempatnya ( sesuai dengan
kedudukan hakim adil), maka dua malaikat membenarkan, menolong dan
menunjukkannya selama tidak seorang (menyeleweng), apabila menyeleweng, maka
kedua malaikat meninggalkannya” (H.R. Baihaqi)
b.
Syarat-Syarat Hakim
Untuk menjadi hakim harus
memenuhi syarat - syarat berikut :
1) Beragama Islam. Tidak boleh menyerahkan
suatu perkara kepada hakim kafir untuk dihukumi. Umar bin Khatab memperingatkan
Abu Musa ketika mengangkat seorang sekretaris dari seorang nasrani, karena ia (
nasrani ) membolehkan suap.
2) Baligh dan berakal sehat. Anak kecil dan
orang gila kata-katanya tidak bisa dipegangi dan tidak dikenai hukum. Lebih-lebih
menghukum orang lain tidak syah.
3) Merdeka. Seorang hamba tidak mempunyai
kekuasaan pada dirinya, maka lebih tidak mempunyai kekuasaan pada orang lain.
4) Adil. Orang fasik atau tidak adil tidak
bisa menegakkan keadilan dan kebenaran.
5) Laki-laki. Sebagaimana Firman Allah :
الرجال قوامون على النساء بما فضل
الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ
الله واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا
تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا
(
النّساء:٣٤)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
” Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita,. ( Q.S.
an-Nisa’/4 : 34 )
Rasulullah juga bersabda :
لَنْ يُّفْلِحُ
قَوْمٌ وَلَّوْااَمْرَهُمُ امْرَ أَةً ( رواه البخا رى)
“ Suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
pada orang perempuan tidak akan berbahagia.” ( H.R.
Bukhari )
6) Memahami
hukum yang ada
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
7) Memahami akan Ijma’ Ulama.
8) Memahami bahasa arab
9) Mamahami metode
ijtihad. Seorang hakim harus bisa berijtihad, mengerti hukum dalam
al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’. Serta perbedaan-perbedaan tradisi umat, dan
faham bahasa arab, tidak boleh taklid. Firman Allah :
ولا
تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤولا ( الإسرأ : ٣٦)
“ Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”( Q.S. al-Isra’ /17 : 36 )
10) Dapat mendengar, melihat, mengerti baca
tulis. Hakim harus bisa mendengar dan melihat, kalau tuli tidak bisa
mengetahui antara yang menerima dan menolak. Demikian juga kalau buta tidak
bisa mengetahui antara penggugat dan tergugat.
11) Memiliki
ingatan yang kuat. Orang yang pelupa atau tidak jelas
bicaranya tidak boleh menjadi hakim.
c.
Tata Cara Pengadilan
Menjatuhkan Hukuman
Tata cara dalam penetapan hukuman di pengadilan adalah
sebagai berikut :
1)
Kesempatan pertama diberikan
kepada penggugat untuk menyampaikan semua tuduhan disertai
dengan bukti-bukti dan
saksi.
2)
Tergugat dipersilahkan untuk
memperhatikan gugatan.
3)
Hakim tidak boleh bertanya kepada penggugat setelah
selesai menyampaikan tuduhan dan meminta
penggugat supaya bersumpah
( tanpa paksaan
).
4)
Hakim bertanya sesuai dengan keperluan kepada penggugat setelah selesai menyampaikan
tuduhan dan minta
bukti - bukti untuk menguatkan
tuduhan.
5)
Jika tidak
terdapat bukti-bukti, hakim
dapat meminta penggugat supaya bersumpah ( tanpa paksaan ).
6)
Jika penggugat menunjukkan
bukti-bukti yang benar, maka hakim harus memutuskan sesuai
dengan tuduhan meskipun
tergugat menolak tuduhan tersebut.
7)
Jika tidak terdapat bukti yang
benar, maka hakim harus menerima sumpah
terdakwa dan membenarkan terdakwa.
8)
Hakim tidak
boleh menjatuhkan hukuman
( vonis ) pada saat sedang marah,
sangat lapar, bersin-bersin,
banyak terjaga, sedih, sangat gembira, sakit, sangat kantuk, menolak keburukan
dan dalam keadaan cuaca yang sangat panas maupun sangat dingin.
d.
Adab (Kesopanan) dan
Macam-macam Hakim
Adab atau kesopanan hakim dalam memutuskan perkara
meliputi tiga hal yang harus diperhatikan berikut ini :
1)
Tata Tertib Pengadilan
Di antara tata tertib pengadilan dan hakim :
a)
Bertempat tinggal di kota pemerintahan, sebab
lebih cepat bertindak dan mendekati keadilan.
b)
Dalam mengadili hakim ditempat
terbuka yang bisa dilihat oleh terdakwa, penggugat, pengunjung, sehingga
menghilangkan prasangka.
c)
Sebaiknya, tidak memutuskan
perkara di masjid. Sebab di masjid tidak bias bebas, seperti tidak bias suara
keras, tidak semua pengunjung baik laki-laki maupun perempuan bias masuk dan
lain-lain.
2)
Majlis Pengadilan
Disamping hal tersebut di atas, hakim wajib
mempersamakan antara kedua pihak yang bersengketa dalam lima hal :
a)
Dalam menghadap kepadanya.
b)
Dalam duduk di hadapannya.
c)
Dalam menerima keduannya.
d)
Dalam mendengarkan kepada
keduanya.
Dalam menghukum kepada keduanya adab hakim
adalah melaksanakan tata tertib pengadilan, memperlakukan
orang-orang yang berperilaku sama dengan tempat duduk, kata-kata dan perhatian.
Tempat duduk artinya, masing-masing diberi tempat duduk yang sama, bias
bebas, bisa melihat hakim dan tidak merasa tertekan.
Kata-kata artinya,
masing-masing diberikan kebebasan argumentasinya, dan mengemukakan
pendapatnya. Masing-masing harus mendapatkan perhatian yang sama artinya, alas
an-alasannya diperhatikan, dan pandangan hakim kea rah yang sama.
3)
Hadiah pada Hakim
Hakim tidak boleh menerima hadiah dari orang-orang yang sedang
berperkara. Suap adalah haram hukumnya, sebab makan harta dengan cara yang
batil dan itu merupakan kebiasaan orang yahudi. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW :
لَعَنَ اللهُ الرَّشِى وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ (رواه
احمد والترمذى)
“ Allah melaknati orang
yang menyuap dan yang
disuap dalam (keputusan) Hukum”. ( HR. Ahmad dan
Turmudzi ).
Sedangkan macam-macam hakim, sebagaimana sabda
Rasulullah :
اَلْقُضَاةُ
ثَلاَثَةٌ قَاضٍ فِى الْجَنَّةِ وَقَاضِيَانِ فِى النَّار, قاضٍ عَرَفَ الْحَقَّ
فَقَضَي بِهِ فَهُوَ
فِى الْجَنَّةِ,
وَقَاضٍ عَرَفَ الْحَقَّ فَحَكَمَ بِخِلاَفِهِ فَهُوَ فِى النَّارِ, وَقَاضٍ قَضَى
عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّار (رواه ابو داود و غيره
“ Hakim ada tiga
macam, satu di surga dan dua di neraka. Hakim yang
mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran,
ia masuk surga; hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum bertentangan
dengan hukum kebenaran, ia masuk neraka;
Hakim yang menetapkan hukum dengan
kebodohannya ia masuk neraka”.(
HR. Abu Daud dan yang
lainnya ).
Berdasarkan hadits
di atas, hakim dibagi menjadi tiga golongan :
a)
Hakim yang
mengetahui kebenaran dan
melaksanakan hukum sesuai dengan kebenaran, maka ia dijamin masuk
surga.
b)
Hakim yang mengetahui kebenaran
tetapi ia memutuskan perkara tidak dengan ukuran kebenaran, maka ia masuk
neraka.
c)
Hakim yang
menetapkan hukum dengan
kebodohannya, iapun masuk neraka.
Menurut pendapat para ulama, orang yang tidak
mengetahui hukum, tidak boleh memutuskan suatu perkara dan apabila
memutuskannya berdosa, baik sesuai dengan kebenaran apalagi tidak. Kalau
sesuai, bukan karena mengetahui dasar-dasar hukumnya, yang demikian termasuk
maksiyat. Maka tetaplah ditolak.
e.
Kedudukan Hakim Wanita
Pembahasan mengenai seorang perempuan boleh tidaknya
menjadi hakim, para ulama berbeda pendapat.
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan
Hambali tidak membolehkan
mengangkat Hakim wanita. Dasarnya adalah Hadits Nabi SAW :
لَنْ يُّفْلِحُ
قَوْمٌ وَلَّوْااَمْرَهُمُ امْرَ أَةً ( رواه البخا رى)
“ Suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka pada orang perempuan
tidak akan berbahagia.” ( H.R. Bukhari )
Menurut Imam Abu Hanifah membolehkan mengangkat hakim
wanita untuk menyelesaikan urusan harta atau selain had dan qishash. Sedangkan
menurut Ath-Thabari, seorang perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak dalam
segala lapangan.
2. Saksi
a.
Pengertian Saksi
Kesaksian dalam bahasa arab disebut syahadah, yang
berarti melihat dengan mata kepala, karena orang yang menyaksikan itu
memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya.
Saksi
adalah orang yang
diperlukan oleh pengadilan
untuk memberikan keterangan
yang berkaitan dengan suatu perkara demi tegaknya hukum dan
tercapainya keadilan dalam pangadilan dan saksi harus jujur dalam memberikan kesaksiannya, karena itu seorang saksi harus terpelihara dari pengaruh
dari luar maupun tekanan dari dalam sidang pengadilan. Saksi bisa memberikan
kebenaran suatu peristiwa itu betul-betul terjadi atau sebaliknya. Sehingga
saksi itu bisa meringankan atau memberatkan terdakwa dalam proses pengadilan.
Dengan dihadirkannya saksi akan dapat membantu para hakim dalam rangka
memberikan putusan sesuai dengan kebenaran, karena didukung adanya bukti-bukti
yang kuat, sehingga putusan yang diambil sesuai dengan prosedur yang ada.
Misalnya kesaksian penetapan bulan romadhan, bila
dikaitkan dengan puasa saja, dilakukan hanya oleh seorang laki-laki, tidak
boleh dilakukan oleh seorang perempuan dan tidak pula banci. Kesaksian untuk
perbuatan zina dan homosex diperlukan empat orang saksi laki-laki, semua
menyaksikan bahwa mereka melihat pelaku zina yang telah mukallaf, lagi dalam
keadaan tidak terpaksa. Kesaksian dalam peradilan diperlukan saksi dan barang
bukti, dan saksi harus jujur.
Kesaksian itu hukumnya fardhu ‘ain bagi orang yang memikulnya
apabila dia dipanggil untuk memberikan kesaksian dan dikhawatirkan lenyapnya
kebenaran meskipun dia tidak dipanggil untuk memberikan kesaksian, Allah
berfirman dalam QS. Al Baqarah: 283:
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان
مقبوضة فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته وليتق الله ربه ولا تكتموا
الشهادة ومن يكتمها فإنه آثم قلبه والله بما تعملون عليم (
البقرة :١٨۳)
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
“janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya” (QS. Al Baqarah /2: 283).
b.
Syarat-syarat Saksi yang
Adil
Agar kesaksian seseorang dapat diterima, maka harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)
Islam. Kesaksian orang kafir
tidak akan diterima, baik memberikan keterangan kepada orang kafir atau orang
Islam. Berdasarkan sabda Nabi SAW. :
لاَ تُقْبَلُ شَهَا دَةُ اَهْلِ دِيْنٍ
عَلَى غَيْرِ دِيْنِ اَهْلِهِـمْ اِلاَّ الْمُسْلِمُوْنَ فَإِ نَّهُمْ عَدُوْلٌ
عَلَى اَنْفُسِهِمْ
وَعَلَى غَيْرِهِمْ ( رواه البيهقى)
“
Tidak diterima kesaksian seorang beragama kepada orang yang beragama lain,
kecuali orang Islam, sebab mereka adil pada dirinya dan pada orang lain.”( H.R. Baihaqi )
2)
Sudah dewasa atau baligh. Saksi
harus baligh, maka tidak syah kesaksian anak meskipun hampir baligh.
3)
Berakal sehat. Orang gila tidak
syah kesaksiannya, sebab tidak bisa menerangkan dirinya sendiri, lebih bagi
orang lain.
4)
Orang yang merdeka.
5)
Adil, sesuai dengan firman
Allah SWT sebagai berikut :
فإذا بلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو
فارقوهن بمعروف وأشهدوا ذوي عدل منكم وأقيموا الشهادة لله ذلكم يوعظ به من كان
يؤمن بالله واليوم الآخر ومن يتق الله يجعل له مخرجا ( الطلاق :۲)
“Apabila
mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan
baginya jalan keluar.” (QS.
At Talaq/65: 2).
Untuk
dapat dikatakan adil,
seorang saksi harus
memenuhi kriteria - kriteria sebagai berikut :
1) Menjauhkandiri dari perbuatan dosa
besar.
Orang yang berbuat dosa besar
disebut fasiq, rusak agamanya. Demikian juga orang yang terbiasa berbuat dosa
kecil. Imam Syafi’i berpendapat : kalau saksi diketahui hariannya baik, maka
diterima kesaksiannya.
2) Menjauhkan diri dari kebiasaan dosa kecil.
3) Menjauhkan diri dari perbuatan
bid’ah.
4) Dapat mengendalikan diri dan jujur pada
saat marah.
5)
Berakhlak mulia.
c.
Kesaksian Tetangga dan
Orang Buta.
Saksi harus adil, memberi yang
ditolak adalah saksi yang
tidak adil, seorang musuh terhadap lawannya, ayah pada
anaknya, anak terhadap ayahnya,
dan seorang yang numpang hidup yang
memberikan kesaksiannya pada orang yang
memberi jaminan kehidupan.
Kesaksian tetangga dapat
diterima, selama mengetahui kejadian yang sebenarnya baik dengan pendengarannya
atau penglihatannya. Sedangkan kesaksian
orang buta dapat diterima dalam 5
hal, yaitu: nasab, kematian, hak milik
mutlak, terjemahan / salinan dan
hal-hal yang diketahui sebelum ia buta.
Menurut Imam
Malik dan Imam Ahmad, orang buta
boleh menjadi saksi asal dia mendengar
suara, tetapi terbatas
dalam hal-hal tertentu. Misalnya : pernikahan, thalaq, jual beli, sewa
menyewa, wakaf, pengakuan.
Berkata Ibnul Qayim : Aku
berkata kepada Malik : “ Orang itu mendengarkan tetangganya dari balik dinding,
akan tetapi dia tidak melihatnya. Dia mendengar tetangganya menceraikan
istrinya, lalu dia menjadi saksinya. Dia mengambil dari suara “. Malik berkata
: Kesaksiannya itu diperbolehkan.
Menurut Imam Syafi’i tidak
diterima kesaksian orang buta, kecuali dalam lima tempat: nasab, kematian,
milik mutlak, riwayat hidup dan tempatnya mengenai apa yang disaksikannya
sebelum ia buta.
Sementara menurut Imam Abu
Hanifah bahwa tidak diterima sama sekali kesaksian orang buta.
Kesaksian adakalanya dengan
pendengaran adakalanya dengan penglihatan. Maka salah satu dari keduanya yang
bisa membawa kesaksian diterima. Kesaksian masalah nasab, kematian, hak milik
itu bisa dengan pendengaran. Maka kesaksian orang buta dalam hal ini bisa
diterima.
d.
Sangsi terhadap Saksi
Palsu
Memberikan kesaksian palsu termasuk dosa besar diantara
dosa-dosa besar dan kriminalitas yang paling besar pula, karena ia membantu
orang yang zalim, menghancurkan hak orang yang dizalimi, menyesatkan peradilan,
meresahkan hati, dan menyebabkan permusuhan di antara sesame manusia. Allah
SWT. Berfirman :
ذلك ومن يعظم
حرمات الله فهو خير له عند ربه وأحلت لكم الأنعام إلا ما يتلى عليكم فاجتنبوا
الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور ( الحج : ۳۰)
Demikianlah (perintah
Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka
itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu
semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka
jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta.
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta”.(Q.S. Al-Hajj/22 : 30 )
Rasulullah bِersabda :
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَنْ
تَزُوْلَ قَدَمُ شَا هِدِالزُّوْرِحَتَّى يُوْ جِبُ الله ُ
لَهُ
النَّارَ ( رواه ابن ماجه)
“ Dari
Ibnu ‘Umarbahwa Nabi saw. bersabda : Tidak akan lenyap kaki saksi palsu( mati)
sampai Allah mewajibkan neraka baginya”. (H.R. Ibnu
Majah)
Menurut Imam Malik, Asy-Syafi;I dan Ahmad meriwayatkan
bahwa saksi palsu itu dihukum dengan ta’zir dan dipermaklumkan bahwa dia saksi
palsu.
Imam Malik menambahkan, katanya : saksi palsu itu
diumumkan di masjid-masjid, pasar-pasar dan di tempat-tempat berkumpulnya
manusia pada umumnya, sebagai hukuman baginya dan peringatan bagi orang lain
untuk melakukannya.
3. Penggugat dan Bukti
a.
Pengertian Penggugat dan syarat-syaratnya
Materi
yang dipersoalkan oleh
kedua belah pihak
yang terlibat perkara dalam proses peradilan disebut
gugatan. Sedangkan penggugat adalah
orang yang mengajukan gugatan karena merasa dirugikan
oleh pihak tergugat (orang yang digugat).
Penggugat yang mengajukan gugatannya harus dapat
membuktikan kebenaan gugatannya disertai
bukti-bukti yang kuat, saksi-saksi yang adil atau dengan melakukan sumpah dari
penggugat sebagai berikut : “ Apabila gugatan saya tidak benar, maka laknat
Allah atas diri saya”. Penggugat disebut juga dengan penuntut, pendakwa,
penuduh mudda’i .
Dakwaan itu tidak syah melainkan dari orang yang
merdeka, berakal, baligh dan waras. Maka hamba sahaya, orang yang gila, orang
yang tidak waras, anak-anak dan orang dungu tidak diterima dakwaan mereka.
Sebagaimana syarat-syarat ini diwajibkan bagi pendakwa, maka syarat-syarat itu
pun diwajibkan pula bagi orang yang mangkir terhadap dakwaan.Dakwaan itu tidak
syah jika tidak disertai barang bukti
untuk membuktikan kebenarannya.
Cara menetapkan dakwaan adalah dengan ikrar,
kesaksian, sumpah dan dengan dokumen resmi yang mantap.
b.
Bukti ( (البيّنة
Barang
bukti atau bayinah
adalah segala sesuatu
yang ditunjukkan oleh penggugat untuk memperkuat
kebenaran dakwaannya. Barang bukti tersebut dapat berupa surat-surat resmi, dokumen, dan barang-barang
lain yang dapat memperjelas masalah (dakwaan) terhadap terdakwa. Bila hal itu tidak ada, hal yang
berfungsi adalah saksi. Hal ini sebagaimana sabagaimana sabda Rasulullah, bahwa
kekuatan barang bukti adalah sebagai berikut :
عَنْ جَا بِرٍ اَنَّ رَجُلَيْنِ
اخْتَصَمَا فِى نَا قَةٍ فَقَا لَ كَلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نَتِجَتْ هَدِهِ النَّا
قَةُ عِنْدِى وَاَقَامَ
بَيِّنَةً فَقَضَى
بِهَارَسُوْ لُ الله ِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمِ لِمَنْ هِىَ فِى يَدَهِ (
الحد يث)
“ dari Jabir bahwasanya ada dua
orang yang bersengketa tentang seekor unta betina, tiap di antara mereka
menyatakan : Diperanakkan unta ini disisi saya, dan keduanya mengadakan bukti,
maka Rasulullah SAW. memutuskan unta itu menjadi hak orang yang unta itu ada
ditangannya ( al Hadits)
4. Tergugat dan Sumpah
a.
Pengertian tergugat
Orang yang
terkena gugatan dari
penggugat disebut tergugat.
Tergugat dapat membela diri
dengan membantah kebenaran gugatan
dengan menunjukkan bukti-bukti administrasi dan bahan-bahan yang
meyakinkan, disamping melakukan
sumpah.
Bila seorang pendakwa
mendakwakan suatu hak pada orang lain sedang dia tidak mampu mengajukan bukti,
dan orang yang didakwa mengingkari hak itu, maka tidak ada cara lain selain
dari sumpah dari orang yang didakwa. Yang demikian itu terlalu khusus dalam hal
harta benda dan barang; akan tetapi tidak diperbolehkan dalam dakwaan hukuman
dan hudud. Rasulullah bersabda :
اَلْبَيِّنَةُ
عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِيْنُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ (رواه
البخارىومسلم)
“Orang yang
mendakwa (penggugat) harus menunjukkan bukti dan terdakwa (tergugat) harus
bersumpah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
b.
Tujuan Sumpah dan Sumpah Tergugat
Apabila seorang pendakwa
menuduh pada orang lain padahal tidak dapat mendatangkan barang bukti, dan
orang yang terdakwa mengingkari hak itu maka tidak ada cara lain kecuali sumpah
dari seorang terdakwa.
Bila sumpah yang ditawarkan
kepada orang terdakwa karena tidak adanya bukti dari pendakwa, lalu orang yang
terdakwa itu tidak berani dan tidak mau sumpah, maka ketidakberaniaanya untuk
bersumpah itu dianggap sebagai pengakuannya atas dakwaan tersebut. Sebab
seandaianya dia benar dalam keingkarannya, tentulah dia tidak enggan untuk
bersumpah. Ketidakberanian untuk bersumpah terkadang terang dan terkadang
ditunjukkan dengan diam.
Dalam keadaan yang demikian,
sumpah tidak boleh dikembalikan kepada pendakwa; tidak ada sumpah bagim
pendakwaatas kebenaran dakwaan yang didakwakannya, sebab sumpah itu selamanya
dalam hal keingkaran.
Menurut Malik, Asy-Syafi’i
dan Ahmad, bahwa ketidakberanian untuk bersumpah itu sendiri tidak cuckup untuk
menghukumi orang yang didakwa, sebab ketidakberanian untuk bersumpah itu adalah
hujjah yang lemah yang wajib diperkuat oleh sumpah orang yang mendakwa bahwa
dia betul dalam dakwaannya. Apabila pendakwa mau bersumpah, maka dia dihukumi
dengan dakwaannya itu. Akan tetapi
apabila dia tidak mau bersumpah, maka dakwaannya ditolak.
Tujuan sumpah ada 2 :
1)
Menyatakan tekat
untuk melaksanakan tugas dengan
sungguh-sungguh dan bertanggung jawab terhadap tugas tersebut.
2)
Membuktikan dengan
sungguh-sungguh bahwa yang bersangkutan berada difihak yang benar.
Tujuan sumpah
yang kedua inilah
yang dilakukan di
pengadilan. Sumpah tergugat adalah sumpah yang
dilakukan oleh tergugat dalam rangka mempertahankan diri
dari tuduhan penggugat
disamping harus menunjukkan bukti-bukti tertulis dan bahan-bahan yang
meyakinkan.
c.
Syarat-syarat Orang Bersumpah
Orang yang bersumpah harus memenuhi tiga syarat yaitu :
1)
Mukallaf,
artinya orang yang sudah aqil baligh
2)
Didorong
oleh kemauan sendiri tanpa paksaan dari siapapun
3)
Disengaja,
bukan karena terlanjur dan lain sebagainya.
Ada tiga kalimat yang diucapkan untuk bersumpah, yaitu :
1)
. وَاللهِ
(Wallahi)
2)
. تالله (Tallahi)
3)
. بالله (Billahi)
Sebagaimana
contoh sumpah yang dilakukan oleh Rasulullah sebagai berikut :
وَاللهِ َلأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ (رواه ابوداود)
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan memerangi
kaum quraisy, kalimat ini diucapkan tiga kali oleh Beliau.” (HR. Abu Daud).
Bagi orang yang melanggar sumpah wajib membayar
kafarat ( denda ). Membayar kafarat dapat dilakukan dengan cara :
1) Memberikan
makanan pokok kepada sepuluh
orang fakir miskin, masing-masing mendapat bagian ¾ liter
2)
Memberikan
pakaian yang pantas pada sepuluh orang fakir miskin.
3)
Memerdekakan
hamba sahaya.
Jika tidak dapat
melaksanakan salah satu dari tiga hal tersebut, maka disuruh berpuasa selama
tiga hari.
Firman Allah QS. Al Maidah: 89 :
لا يؤاخذكم الله
باللغو في أيمانكم ولكن يؤاخذكم بما عقدتم الأيمان فكفارته إطعام عشرة مساكين من
أوسط ما تطعمون أهليكم أو كسوتهم أو تحرير رقبة فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام ذلك
كفارة أيمانكم إذا حلفتم واحفظوا أيمانكم كذلك يبين الله لكم آياته لعلكم تشكرون ( المائدة : ۸۹)
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah
memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang
budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya
puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
C. PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
1. Dasar Hukum Peradilan Agama di Indonesia.
Di Indonesia terdapat tiga
macam peradilan agama, yaitu :
a. Peradilan agama yang berada di Jawa dan
Madura. Dulu dikenal sebagai “Priesterrad” atau Raad Agama.
b. Kerapatan Qadi, yaitu yang berada dibekas
karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur yang diatur dalam Stbld 1937 No. 638
dan 639.
c. Peradilan agama/Mahkamah Syari’iyah untuk
luar Jawa dan Madura, sebagian Kalimantan Selatan.
Dasar hukum Peradilan Agama
jaman Pemerintah Hindia Belanda adalah Stbl.1882 No.152 yo Stbl.1937 No. 116
dan 610 dan Stbl. 1937 No. 638.
Pada jaman kemerdekaan,
dasar hukum Peradilan Agama adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 tahun 1957
tentang pembentukan Pengadilan Agama Mahkamah syar’iyah di luar Jawa-Madura.
Pasal (1) dari PP 45/1957
berbunyi sebagai berikut : “Di tempat –tempat yang ada Pengadilan Negeri dan
sebuah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya sama dengan
daerah hukum Pengadilan Negeri “.
Dasar hukum peradilan agama
di Indonesia adalah Undang-undang No 14 tahun 1970, yaitu Undang-undang
tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman. Pada pasal 10 ayat
1 ditetapkan sebagai berikut : “ Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan
dalam lingkungan :
- Peradilan Umum
- Peradilan Agama
- Peradilan Militer
- Peradilan Tata Usaha Negeri
Pasal
tersebut merupakan pasal
yang menetapkan eksistensi badan peradilan di Indonesia,
dimana peradilan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan pasal 4 ayat 1 Undang-undang No 14
tahun 1970, yaitu : “Demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maka dengan demikian Peradilan Agama harus mengikuti
Undang-Undang tersebut.
Sebelumnya nama
peradilan tingkat pertaama
di Indonesuia tidak
sama. Untuk wilayah hukum Pulau Jawa dan Madura bernama
Peradilan Agama. Untuk
wilayah hukum sebagian Kalimantan
Selaatan / Timur bernama
Kerapatan Qodhi untuk wilayah hukum diluar kedua wilayah diatas diberi nama Mahkamah Syari’ah.
Akan
tetapi untuk keseragaman nama disemua wilayah hukum di Indonesia, maka
dikeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama No 6 tahun 1980 tertanggal 28
Januari 1980, bahwa nama peradilan tingkat
pertama adalah : “Peradilan Agama”
dan untuk tingkat bandingnya
(Provinsi) diberi nama “Peradilan Tinggi Agama”.
Pada
tanggal 29 Desember 1989 terdapat pada
Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai dasar
hukum bagi Peradilan Agama Islam di
Indonesia, maka peraturan perundangan yang sebelumnya dinyatakan tidak berlaku.
2. Fungsi Peradilan Agama
Perkara yang menjadi
wewenang Peradilan Agama di Indonesia adalah :
a. Perselisihan antara suami istri yang
beragama lain
b. Perkara-perkara tentang nikah, talak,
rujuk dan perceraian antara antara orang-orang yang beragama Islam yang
memerlukan penyelesaian atau penetapan hakim Islam.
c. Menyatakan bahwa syarat jatuhnya talak
yang digantungkan (ta’lig talaq) sudah ada.
d. Memberi putusan perceraian.
e. Mahar 9termasuk mut’ah)
f. Perkara tentang kehidupan(nafkah) istri
yang wajib diadakan oleh suami
Khusus wewenang bagi
Pengadilan Agama /Mahkamah Syari’iyah di luar Jawa-Madura dan di luar sebagaian
Kalimantan Selatan, kecuali hal-hal tersebut di atas ditambah :
a. Hadanah
b. Waris, mawaris
c. Wakaf
d. Sadaqah
e. Baitul mal
Peradilan Agama merupakan
salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara perdata yang diatur dalam Undang- undang.
Fungsi peradilan agama
setelah berlakunya Undang-undang No 7 tahun 1989, dilaksanakan oleh Peradilan
Agama sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, dan oleh
Pengadilan Tinggi Agama sebagai
pengadilan Tinggi Banding.
Pengadilan Agama
sebagai Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang Memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan perkara antara orang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah dan
sadaqah berdasarkan hukum
Islam.
Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 , maka Pengadilan Agama
diberi tugas untuk menyelesaikan dan
memeriksa antara lain :
1. Izin beristri lebih dari Seorang.
2. Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (Dua Puluh Satu)
tahun, dalam hal orang tua dan wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat.
3. Dispensasi
kawin
4. Pencegahan
perkawinan
5. Penolakan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan
7. Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami atau isteri.
8. Perceraian karena talak
9. Gugatan
perceraian
10. Penyelesaian harta bersama
11. Mengenai penguasaan anak-anak, Ibu dapat
memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak memenuhinya
12. Penentuan
kewajiban memberi biaya
penghidupan oleh suami
kepada bekas isteri atau penentuan suami berkewajiban bagi bekas isteri.
13. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang
anak.
14. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang
tua.
15. Perebutan kekuasaan wali.
16. Penunjukan
orang lain sebagai
wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut .
17. Menunjuk
seorang wali dalam
hal seorang anak
yang belum cukup umur 18 (delapan
belas) tahun yang
ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan
wali oleh orang tuanya.
18. Pembebanan kewajiban ganti kerugian
terhadap wali yang
telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang dibawah
kekuasaannya.
19. Penentuan asal usul seorang anak.
20. Putusan tentang penolakan pemberian
keterangan untuk melakukan perkawinan campuran.
21. Putusantentang sahnya perkawinan yang
terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan yang dijalankan menurut peraturan yang lain.
Sedang
bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahliwaris, penentuan harta
peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris dan
pelaksanaan pembagian harta peninggalan yang dilakukan berdasar hukum Islam.
Adapun Pengadilan
Tinggi Islam sebagai Pengadilan Tinggi Tingkat Banding, bertugas dan berwenang mengadili perkara
yang menjadi kewenangannya dalam
tingkat banding, dan juga berwenang mengadili ditingkat pertama dan kedua /
terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah
hukumnya.
Selain tugas
dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49 dan
pasal 51 UUPA Nomor 7 Tahun 1989,
pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau
berdasarkaan Undang-undang.
terima kasih referensinya
BalasHapussinizam
BalasHapuspagunpost