*********"Selamat Datang Di Blog Muhammad Imron, S.H.I Kelurahan Duwet Kec. Pekalongan Selatan Kota Pekalongan"*********

Rabu, 25 Maret 2009

Zikir Tanpa Sholat



Zikir Tanpa Sholat, Cukupkah ?

Saya tidak tahu harus bagaimana menyikapi fenomena yang saya lihat akhir-akhir ini. Ketertarikan banyak kalangan kepada agama, justru berakibat agama dipahami secara parsial. Pemahaman parsial tersebut, kecuali memang tidak mencakup sama sekali dan tidak benar, juga merusak mental, keyakinan, kerangka berpikir, pandangan hidup, dan sikap pemeluknya.
Pendeknya, pemahaman seperti itu mempunyai implikasi destruktif yang sangat luas. Namun, tentu bukan gejala ketertarikan itu yang kita sesalkan. Karena dalam kerangka syi’ar, maraknya kegiatan keagamaan, apakah itu pengajian, diskusi, halaqah agama, dan sebagainya, adalah pertanda sangat baik bagi agama.
Hanya saja, hal itu belum tentu merupakan pertanda bagi perkembangan agama dan keberagamaan. Kualitas agama, sejak Allah S.W.T. mengesahkannya, sebagaimana tercermin dalam Surat Al Maidah Ayat 3, yang artinya : “ Diharamkan bagimu ( memakan ) bangkai, darah, daging babi, ( daging hewan ) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan ( diharamkan juga ) mengundi nasib dengan anak panah, itu adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah S.W.T. Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “1, telah mencapai titk final. Ia telah sedemikian sempurna. Persoalan yang menyangkut perkembangan atau kemunduran agama, bertumpu soal bagaimana pemeluknya dapat mengaplikasikan dengan perkembangan zaman yang ada. Inilah hal yang perlu ditegaskan.
Karenanya, fenomena ini di satu sisi mempunyai bagian yang “ menguntungkan “, tapi di sini lain ada bagian yang “ masih perlu dipertanyakan “. Maka, fenomena berupa pemahaman parsial itu, kiranya urgen sekali kita bicarakan.
Saya pun tidak mengerti harus menyebut bias itu sebagai apa, atau bahkan, apakah hal itu memang semata-mata merupakan sebuah bias ?
Yang jelas, sejauh yang saya tangkap dari beberapa informasi dan banyak gelagat, bahwa sekarang ini orang cenderung kea rah mistik di dalam agama. Dalam bahasa kampong, sering disebut dengan klenik.
Orang enggan melaksanakan syari’at, yang di dalamnya terhimpun aturan-aturan peribadatan secara amaly, bersifat pekerjaan nyata, tetapi mereka justru lebih suka “ menerobos “ proses peribadatan itu dengan hal-hal yang bersifat batiniah dan metafisis. Sholat yang seperti kita laksanakan sehari-hari itu, menjadi cukup diganti dengan memusatkan jiwa dan pikiran kepada yang disembah, tanpa dibarengi dengan gerak fisik sama sekali.

A. Thoriqot

Secara mendasar, Islam terdiri dari akidah dan syari’at. Akidah atau kepercayaan atau keimanan mendasarkan dirinya pada tauhid ( pengesaan Tuhan ).
Tauhid itupun meliputi tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah.
1. Uluhiyyah berarti mengesakan Allah dalam beribadah dan beristi’anah. Artinya, bahwa segala proses peribadatan harus berdasarkan kepada keesaan Allah S.W.T.
2. Rububiyyah berarti tentang zat Allah, sifat-sifat dan seluruh Perbuatan-Nya, seperti Allah adalah pencipta langit, bumi, dan sebagainya.
Akidah disini lebih berposisi sebagai “ilmu”. Adapun “pengamalanya” adalah lewat syari’at. Syari’at inilah yang memuat ketentuan-ketentuan peribadatan yang harus dilaksanakan secara fi’ly ( berupa perbuatan / gerak fisik ).
Memang, secara garis besar, dalam Islam dikenal pula bentuk penghambaan diri melalui cara-cara yang mistis. Namun, bukan berarti dengan begitu Islam secara keseluruhan merupakan mistis absolute, benar-benar klenik atau dengan kata lain hanya cukup dengan praktek-praktek batiniah seperti di atas.
Cara-cara mistik itu dipraktekkan ketika sudah mencapai tingkat yang lazim disebut thoriqot. Thoriqot itu sendiri merupakan tingkat setelah syari’at. Artinya, akan sangat keliru jika kita belum mampu mengamalkan ketentuan-ketentuan syari’at, tetapi sudah terburu-buru kepada tingkat Thoriqot. Inilah bias yang saya maksudkan di atas itu.

B. Zikir

Dari Abu Ad Darda’ R.A., Rosulullah SAW bersabda : “ Tidakkah kalian aku tunjukkan amal perbuatan yang paling baik dan bersih di hadapan Tuhan kalian ? Suatu amal yang dapat mengangkat derajat kalian, amal yang lebih utama daripada menyedekahkan sebatang emas dan lebih mulia daripada berperang melawan musuh-musuh kalian ? ”. Para sahabat bertanya : “ Amal apakah itu, wahai Nabi ? “. Nabi menjawab : “ Zikrullah ( zikir kepada Allah ) “.
Secara Lughowi Zikir berasal dari bahasa arab dzikr yang berarti perbuatan menyebut atau mengingat dengan lisan dan hati. Ada yang berpendapat bahwa pekerjaan mengingat dengan hati dan lisan itu berasal dari dzukr, sedangkan pekerjaan menyebut dengan lisan saja adalah dzikr (beda bunyi lafalnya).
Adapun secara Ishthilahi ( peristilahan ), kata zikir tidak terlalu jauh dari maksud lughowi-nya seperti itu. Dalam pengertian mutakhir, zikir berarti membaca tasbih, mengagungkan Allah, menyucikan-Nya, dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, zikir kepada Allah tidak hanya terbatas sebagai “bacaan-bacaan“ mulai yang berdasar pada tuntunan Nabi S.A.W. atau yang lebih populer dengan sebutan dzikir ma’tsur. Namun kemudian juga diartikan dengan “ ingat kepada Allah “ dalam segala gerak dan tingkah laku, bahkan dalam setiap tarikan dan hembusan nafas seorang hamba.
Tuntutan pelaksanaan zikir itu sendiri sedemikian beratnya, di mulai sejak bangun tidur sampai menjelang berangkat tidur lagi. Demikian sedikit ajaran thoriqot. Karenanya, zikir itu sebenarnya telah merupakan suatu proses penghambaan diri secara total dari seorang hamba kepada Al-Kholiq. Tetapi cukupkah ?
Assayyid Muhammad ibn ‘Alawi Al Maliky berpendapat, bahwa zikir pada hakikatnya memiliki ratusan faidah dan kegunaan. Diantaranya dengan zikir, seorang hamba tidak mungkin melupakan Tuhannya. Kelupaan seorang hamba kepada Tuhan menyebabkan Tuhan lupa kepadanya. Allah berfirman dalam Surat Al Hasyr : “ Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah melupakan mereka “.
Selain itu, zikir menempatkan hamba pada beberapa pangkat dan derajat yang luhur atau lazim disebut al–maqam, seperti maqam mahabbah, maqam ma’rifat, maqam qurb, maqam khasyyah dan sebagainya.
1. Maqam Mahabbah, karena dengan senantiasa ingat kepada Allah SWT maka seseorang akan menjadi kekasih – Nya.
2. Maqam Ma’rifat, karena setelah seseorang hamba semakin memperbanyak berzikir, maka Allah SWT akan membukakan baginya Babul Ma’rifat yaitu suatu derajat yang sangat luhur dan mulia.
3. Maqam Qurb, ketika hamba berzikir, maka semenjak itu pula ia selalu berdekatan dengan Allah SWT. Dalam Hadits Qudsy Allah SWT berfirman : “ Aku menjadi teman bagi orang yang ingat kepadaku”.
4. Maqam Khasyyah, terengkuh ketika hati dan seluruh jiwa raga telah madhep mantep hanya kepada Allah SWT. Justru ketika seorang hamba telah berdekatan dengan Tuhannya, maka rasa Khasyyah (takut) akan semakin bertambah.2
Dari uraian di atas, sekilas memang bisa dipahami, bahwa zikir, apakah itu sekadar bacaan-bacaan mulia atau zikir yang lebih melibatkan seluruh anggota tubuh, seolah telah cukup untuk menempatkan seorang hamba sebagai hamba sebenar-benarnya. Tak perlu Sholat, tak perlu Zakat dan seterunya. Namun dalam Tafsir Al – Khazin diuraikan bahwa firman Allah SWT dalam surat Al- Ahzab { yang berbunyi : “ Wahai orang yang beriman, zikirlah kepada Allah SWT dengan sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada – Nya sepanjang pagi dan sore. “ } oleh banyak mufassirin diartikan dengan Sholat. Karenanya Islam memang tidak menganggap cukup pelaksanaan zikir tanpa ibadah-ibadah formal syar’i. Islam menekankan keseimbangan antara akidah dan syari’ah.3

1 Khadim Al-Kharamain, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, hlm. 157
2 Drs. Anas Abdoerochim, KH. MA. Sahal Mahfudh Menulis, Harian Suara Merdeka, hlm. 5.
3 Disusun Oleh Pengurus Remaja Masjid Jami’ Ar – Rohmah Kelurahan Duwet Kec. Pekalongan Selatan Kota Pekalongan