*********"Selamat Datang Di Blog Muhammad Imron, S.H.I Kelurahan Duwet Kec. Pekalongan Selatan Kota Pekalongan"*********

Rabu, 10 Oktober 2012

Kelas XI Bab III Tentang Peradilan


Indikator :
Siswa dapat :
1.      Menjelasakan pengertian peradilan                      
2.      Menjelaskan fungsi peradilan                    
3.      Menjelaskan hikmah peradilan                 
4.      Menjelaskan pengertian dan kedudukan hakim                                
5.      Menyebutkan syarat-syarat hakim
6.      Menjelaskan tata cara peradilan menjatuhkan hukuman  
7.      Menjelaskan adab kesopanan/etika hakim                       
8.      Menjelaskan kedudukan hakim wanita                      
9.      Menjelaskan pengertian saksi                               
10.  Menjelaskan kesaksian tetangga dan orang buta.
11.  Mendiskusikan macam-macam bukti
12.  Menjelaskan pengertian penggugat dan tergugat
13.  Menjelaskan sumpah dan sumpah tergugat

MATERI :

Gambar di atas, merupakan proses peradilan di Indonesia. Kalau berbicara masalah peradilan, maka tidak akan terlepas dari keadilan. Sesungguhnya keadilan itu merupakan salah satu dari nilai- nilai Islam yang tinggi. Hal ini disebabkan menegakkan keadilan dan kebenaran ketentraman, meratakan keamanan, memperkuat hubungan-hubungan antara individu dengan individu lain, memperoleh kepercayaan antara penguasa dan rakyat itu sangat dibutuhkan dalam proses peradilan, agar keadilan dapat diwujudkan.
Sesungguhnya keadilan itu dapat diwujudkan dengan menyampaikan setiap hak kepada yang berhak dan dengan melaksanakan hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah SWT. serta dengan menjauhkan hawa nafsu melalui pembagian yang adil di antara sesama manusia. Sebenarnya, tugas para Rasul Allah tidak lain adalah untuk menjalankan dan melaksanakan urusan ini.
Di antara sarana-sarana yang terpenting untuk mewujudkan keadilan, menjaga dan memelihara kehormatan jiwa dan harta benda ialah menegakkan sistem peradilan yang diwajibkan oleh Islam dan dijadikannya sebagai bagian dari ajaran-ajarannya. Orang yang pertama kali memegang jabatan ini dalam Islam adalah Rasulullah.
Pembahasan dalam bab ini menyangkut masalah proses peradilan dalam Islam yang terdiri dari fungsi lembaga peradilan, menyangkut masalah hakim, saksi, bukti, tergugat penggugat, sumpah dan Peradilan Agama di indonesia.

  1. PROSES PERADILAN DALAM ISLAM

1.      Pengertian Peradilan

Peradilan diambil dari kata qadha ( Bahasa Arab ) yang terjemahannya adalah memutuskan, memberi keputusan, menyelesaikan. Secara bahasa juga dapat berarti menyempurnakan sesuatu baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Peradilan menurut istilah adalah  suatu  lembaga  pemerintahan / negara yang ditugaskan  untuk menyelesaikan / menetapkan  keputusan  atas  setiap  perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku. Secara istilah syara’ al-qadha berarti memutuskan persengketaan di antara manusia untuk menghindarkan perselisihan dan memutuskan pertikaian, dengan menggunakan hokum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah SWT. Dengan demikian kalau peradilan Islam, maka yang dijadikan dasar adalah hokum Islam.
Sedangkan pengertian pengadilan adalah tempat untuk mengadili suatu perkara dan orang yang bertugas mengadili suatu perkara disebut  qodhi  atau  hakim.
                 
2.      Fungsi Peradilan

Sebagai  lembaga  negara  yang  ditugasi  untuk  menyelesaikan  dan  memutuskan setiap perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk  menciptakan ketertiban   dan  ketentraman   masyarakat   yang   dibina  melalui  tegaknya  hukum. Peradilan  Islam  bertujuan pokok untuk menciptakan kemaslahatan umat dengan tegaknya hukum  Islam. Untuk terwujudnya hal tersebut di atas, peradilan  Islam  mempunyai  tugas  pokok :

a.       Mendamaikan  kedua  belah  pihak  yang  bersengketa.
b.      Menetapkan sangsi dan menerapkannya kepada para pelaku  perbuatan  yang melanggar  hukum.
c.       Terciptanya amar ma’ruf nahi munkar
d.      Dapat melindungi jiwa, harta dan kehormatan masyarakat.
e.       Menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegak berdirinya hukum Islam  
             
3.     Hikmah Peradilan

Sesuai   dengan  fungsi  dan  tujuan peradilan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dengan adanya  peradilan akan diperoleh hikmah yang sangat besar bagi kehidupan  umat,  yaitu :
a.       Peradilan  dapat  mewujudkan  masyarakat yang bersih. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ كَيْفَ تَقَدَّ سَ اُمَّةٌ لاَ يُؤْخَذُ
 مِنْ شَدِيْدِ هِمْ لِضَعِيْفِهِمْ. (رواه ابن مجاه)       
Artinya:”Dari Jabir berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ” Tidak (dinilai) bersih suatu masyarakat dimana hak orang yang lemah diasmbil oleh yang kuat”. (H.R. Ibnu Hibban).

b.      Terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa.
c.       Terwujudnya perlindungan hak setiap orang. Tiap orang mempunyai hak asasi yang tidak boleh dilanggar oleh orang lain.  Sabda Rasulullah SAW. :

عَنْ جَا بِرٍ قَا لَ :سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : كَيْفَ تُقَدِّ سُ اُمَّةٌ لاَ يُؤْ خَذُ مِنْ
شَدِيْدِهِمْ لِضَعِيْفِهِم ( روه ابن حبا ن)
“Dari Jabir katanya : Saya dengar Rasulullah SAW. bersabda : Tidak dinilai bersih suatu masyarakat, dimana hak orang yang kuat diambil oleh orang yan kuat.”( H.R. Ibnu Hiban )

Pasal 22 Undang-Undang dasar RI 1945 berbunyi :
1)      Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2)      Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan nyang layak bagi kemanusiaan.

d.      Terciptanya keadilan   bagi seluruh rakyat. Allah berfirman:
إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن الله نعما يعظكم به إن الله كان سميعا بصيرا
)النّساء:٥٨)
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
” ...Dan Allah (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”(QS. An Nisa’/4: 58)


e.       Terciptanya keamanan, ketentraman, kedamaian.
f.       Dapat mewujudkan suasana yang  mendorong untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT bagi semua pihak. Allah berfirman :
يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
”... Berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa ...”.
(QS. Al Maidah  5: 8)


  1. KETENTUAN TENTANG HAKIM DAN SAKSI DALAM PERADILAN ISLAM

1.      Hakim

a.      Pengertian  dan kedudukan Hakim

Hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk menyelesaikan persengketaan dan memutuskan hukum suatu  perkara  dengan  adil.  Dengan  kata  lain,  hakim adalah orang yang bertugas mengadili, ia mempunyai kedudukan yang terhormat  selama  berlaku  adil.
Peradilan adalah fardhu kifayah untuk menghindarkan kedholiman dan memutuskan persengketaan. Penguasa wajib mengangkat hakim untuk menegakkan hukum di kalangan masyarakat dan barang siapa menolak, maka dipaksakannya jabatan itu. Apabila ada seorang manusia yang peradilan itu tidak pantas kecuali diberikan padanya, maka dia ditunjuk dan wajib baginya menerima jabatan itu. Islam menganjurkan agar hukum ditegakkan di antara manusia dengan cara yang benar, dan menyatakan bahwa perbuatan yang demikian itu adalah perbuatan yang disukai. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنُ أَوْفَى أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى الله ُ عَلَيِهِ وَسَلَّمَ قَا لَ :اِنَّ الله َ مَعَ القَا ضِى مَا لَمْ يَجُرْ فَإِ ذَا جَارَ
تَخَلَّى الله ُ عَنْهُ وَلَزِمَهُ الشَّيْطَانُ ( روه ابودودوالترمذى )
“ Dari ‘Abdullah bin Abu Aufa, bahwa Nabi saw. bersabda : “Sesungguhnya Allah beserta hakim selagi hakim itu tidak curang. Bila hakim itu curang, maka Allah akan meninggalkannya maka baginya neraka “ ( H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi )

           Sedangkan kedudukan hakim sangat mulia selama ia berlaku adil. Sabda Nabi SAW, :

اِذَا جَلَسَ الْقَا ضِىْ فِى مَكَا نِهِ هَبَطَ عَلَيْهِ مَلَكَا نِ يُسَدِّ دَانِهِ وَيُوَفِّقَا نِهِ وَيُرْشِدَانِهِ مَا لَمْ يَجُرْ
,  فَإِ ذَاجَا رَ عَرَجَا وَتَرَكَاهُ ( رواه البيهقى )
" Apabila seorang hakim duduk ditempatnya ( sesuai dengan kedudukan hakim adil), maka dua malaikat membenarkan, menolong dan menunjukkannya selama tidak seorang (menyeleweng), apabila menyeleweng, maka kedua malaikat meninggalkannya” (H.R. Baihaqi)
  

b.      Syarat-Syarat Hakim     

Untuk menjadi hakim harus memenuhi syarat - syarat berikut :
1)      Beragama Islam. Tidak boleh menyerahkan suatu perkara kepada hakim kafir untuk dihukumi. Umar bin Khatab memperingatkan Abu Musa ketika mengangkat seorang sekretaris dari seorang nasrani, karena ia ( nasrani ) membolehkan suap.
2)      Baligh dan berakal sehat. Anak kecil dan orang gila kata-katanya tidak bisa dipegangi dan tidak dikenai hukum. Lebih-lebih menghukum orang lain tidak syah.
3)      Merdeka. Seorang hamba tidak mempunyai kekuasaan pada dirinya, maka lebih tidak mempunyai kekuasaan pada orang lain.
4)      Adil. Orang fasik atau tidak adil tidak bisa menegakkan keadilan dan kebenaran.
5)      Laki-laki. Sebagaimana Firman Allah :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا ( النّساء:٣٤)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
” Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,. ( Q.S. an-Nisa’/4 : 34 )

Rasulullah juga bersabda :

لَنْ يُّفْلِحُ قَوْمٌ وَلَّوْااَمْرَهُمُ امْرَ أَةً ( رواه البخا رى)
“ Suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka pada orang perempuan tidak akan berbahagia.” ( H.R. Bukhari )


6)      Memahami   hukum  yang  ada  dalam  Al-Qur’an  dan Al-Hadits.
7)      Memahami akan Ijma’ Ulama.
8)      Memahami bahasa arab
9)      Mamahami  metode  ijtihad. Seorang hakim harus bisa berijtihad, mengerti hukum dalam al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’. Serta perbedaan-perbedaan tradisi umat, dan faham bahasa arab, tidak boleh taklid. Firman Allah :
ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤولا ( الإسرأ : ٣٦)  
“ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”( Q.S. al-Isra’ /17 : 36 )

10)  Dapat mendengar, melihat, mengerti  baca  tulis. Hakim harus bisa mendengar dan melihat, kalau tuli tidak bisa mengetahui antara yang menerima dan menolak. Demikian juga kalau buta tidak bisa mengetahui antara penggugat dan tergugat.  
11)  Memiliki  ingatan  yang  kuat. Orang yang pelupa atau tidak jelas bicaranya tidak boleh menjadi hakim.

c.       Tata Cara Pengadilan Menjatuhkan Hukuman

Tata cara dalam penetapan hukuman di pengadilan adalah sebagai berikut :
1)      Kesempatan pertama diberikan kepada penggugat untuk menyampaikan semua tuduhan  disertai  dengan  bukti-bukti  dan  saksi.
2)      Tergugat   dipersilahkan  untuk  memperhatikan  gugatan.
3)      Hakim  tidak boleh bertanya kepada penggugat setelah selesai menyampaikan tuduhan   dan   meminta   penggugat   supaya   bersumpah   (  tanpa  paksaan  ).
4)      Hakim  bertanya sesuai dengan keperluan  kepada penggugat setelah selesai  menyampaikan  tuduhan  dan  minta  bukti - bukti  untuk  menguatkan  tuduhan.
5)      Jika  tidak  terdapat  bukti-bukti,  hakim  dapat meminta penggugat supaya bersumpah ( tanpa paksaan ).
6)      Jika penggugat menunjukkan bukti-bukti yang benar, maka hakim harus memutuskan  sesuai  dengan  tuduhan  meskipun  tergugat  menolak  tuduhan tersebut.
7)      Jika tidak terdapat bukti yang benar, maka hakim harus menerima  sumpah terdakwa dan membenarkan terdakwa.
8)      Hakim  tidak  boleh  menjatuhkan  hukuman  ( vonis ) pada  saat  sedang marah,  sangat lapar,  bersin-bersin, banyak  terjaga, sedih, sangat  gembira, sakit, sangat kantuk, menolak  keburukan  dan dalam keadaan cuaca yang sangat panas maupun sangat dingin.

d.      Adab (Kesopanan) dan Macam-macam Hakim

Adab atau kesopanan hakim dalam memutuskan perkara meliputi tiga hal yang harus diperhatikan berikut ini :

1)      Tata Tertib Pengadilan
Di antara tata tertib pengadilan dan hakim :
a)      Bertempat tinggal di kota pemerintahan, sebab lebih cepat bertindak dan mendekati keadilan.
b)      Dalam mengadili hakim ditempat terbuka yang bisa dilihat oleh terdakwa, penggugat, pengunjung, sehingga menghilangkan prasangka.
c)      Sebaiknya, tidak memutuskan perkara di masjid. Sebab di masjid tidak bias bebas, seperti tidak bias suara keras, tidak semua pengunjung baik laki-laki maupun perempuan bias masuk dan lain-lain.


2)      Majlis Pengadilan

Disamping hal tersebut di atas, hakim wajib mempersamakan antara kedua pihak yang bersengketa dalam lima hal :
a)      Dalam menghadap kepadanya.
b)      Dalam duduk di hadapannya.
c)      Dalam menerima keduannya.
d)     Dalam mendengarkan kepada keduanya.
Dalam menghukum kepada keduanya adab  hakim  adalah  melaksanakan  tata tertib pengadilan, memperlakukan orang-orang yang berperilaku sama dengan tempat duduk, kata-kata dan  perhatian.  Tempat duduk artinya, masing-masing diberi tempat duduk yang sama, bias bebas, bisa melihat hakim dan tidak merasa tertekan.
Kata-kata artinya,  masing-masing diberikan kebebasan argumentasinya, dan mengemukakan pendapatnya. Masing-masing harus mendapatkan perhatian yang sama artinya, alas an-alasannya diperhatikan, dan pandangan hakim kea rah yang sama.
3)      Hadiah pada Hakim

  Hakim tidak boleh menerima hadiah dari orang-orang yang sedang berperkara. Suap adalah haram hukumnya, sebab makan harta dengan cara yang batil dan itu merupakan kebiasaan orang yahudi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

لَعَنَ اللهُ الرَّشِى وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ (رواه احمد والترمذى)
“ Allah  melaknati  orang  yang  menyuap  dan yang  disuap dalam (keputusan) Hukum”.   ( HR. Ahmad dan Turmudzi ).

Sedangkan macam-macam hakim, sebagaimana sabda Rasulullah :
           
اَلْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ قَاضٍ فِى الْجَنَّةِ وَقَاضِيَانِ فِى النَّار, قاضٍ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَي بِهِ فَهُوَ
فِى الْجَنَّةِ, وَقَاضٍ عَرَفَ الْحَقَّ فَحَكَمَ بِخِلاَفِهِ فَهُوَ فِى النَّارِ, وَقَاضٍ قَضَى عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّار (رواه ابو داود و غيره
“ Hakim  ada  tiga  macam,  satu  di surga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui  kebenaran  dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran, ia masuk surga; hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum bertentangan dengan hukum  kebenaran, ia masuk neraka; Hakim yang menetapkan  hukum  dengan  kebodohannya  ia  masuk neraka”.( HR. Abu Daud  dan  yang  lainnya ).

Berdasarkan hadits di atas, hakim dibagi menjadi tiga golongan :
a)      Hakim   yang   mengetahui  kebenaran  dan  melaksanakan  hukum sesuai  dengan kebenaran, maka ia dijamin masuk surga.
b)      Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi ia memutuskan perkara tidak dengan ukuran kebenaran, maka ia  masuk  neraka.
c)      Hakim   yang  menetapkan  hukum  dengan  kebodohannya, iapun  masuk  neraka.

Menurut pendapat para ulama, orang yang tidak mengetahui hukum, tidak boleh memutuskan suatu perkara dan apabila memutuskannya berdosa, baik sesuai dengan kebenaran apalagi tidak. Kalau sesuai, bukan karena mengetahui dasar-dasar hukumnya, yang demikian termasuk maksiyat. Maka tetaplah ditolak.

e.       Kedudukan Hakim Wanita

Pembahasan mengenai seorang perempuan boleh tidaknya menjadi hakim, para ulama berbeda pendapat.
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i  dan  Hambali  tidak  membolehkan  mengangkat Hakim wanita. Dasarnya adalah Hadits Nabi SAW :

لَنْ يُّفْلِحُ قَوْمٌ وَلَّوْااَمْرَهُمُ امْرَ أَةً ( رواه البخا رى)

“ Suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka pada orang perempuan tidak akan berbahagia.” ( H.R. Bukhari )

Menurut Imam Abu Hanifah membolehkan mengangkat hakim wanita untuk menyelesaikan urusan harta atau selain had dan qishash. Sedangkan menurut Ath-Thabari, seorang perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak dalam segala lapangan.
    

2.      Saksi

a.      Pengertian Saksi       

Kesaksian dalam bahasa arab disebut syahadah, yang berarti melihat dengan mata kepala, karena orang yang menyaksikan itu memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya.
Saksi  adalah  orang  yang  diperlukan  oleh  pengadilan  untuk  memberikan keterangan yang  berkaitan dengan  suatu perkara demi tegaknya hukum dan tercapainya keadilan dalam pangadilan dan saksi harus jujur dalam  memberikan kesaksiannya, karena itu  seorang saksi harus terpelihara dari pengaruh dari luar maupun tekanan dari dalam sidang pengadilan. Saksi bisa memberikan kebenaran suatu peristiwa itu betul-betul terjadi atau sebaliknya. Sehingga saksi itu bisa meringankan atau memberatkan terdakwa dalam proses pengadilan. Dengan dihadirkannya saksi akan dapat membantu para hakim dalam rangka memberikan putusan sesuai dengan kebenaran, karena didukung adanya bukti-bukti yang kuat, sehingga putusan yang diambil sesuai dengan prosedur yang ada.
Misalnya kesaksian penetapan bulan romadhan, bila dikaitkan dengan puasa saja, dilakukan hanya oleh seorang laki-laki, tidak boleh dilakukan oleh seorang perempuan dan tidak pula banci. Kesaksian untuk perbuatan zina dan homosex diperlukan empat orang saksi laki-laki, semua menyaksikan bahwa mereka melihat pelaku zina yang telah mukallaf, lagi dalam keadaan tidak terpaksa. Kesaksian dalam peradilan diperlukan saksi dan barang bukti, dan saksi harus jujur.
Kesaksian itu hukumnya fardhu ‘ain bagi orang yang memikulnya apabila dia dipanggil untuk memberikan kesaksian dan dikhawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia tidak dipanggil untuk memberikan kesaksian, Allah berfirman dalam QS. Al Baqarah: 283:
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته وليتق الله ربه ولا تكتموا الشهادة ومن يكتمها فإنه آثم قلبه والله بما تعملون عليم ( البقرة :١٨۳)
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
“janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya” (QS. Al Baqarah /2: 283).
           
b.      Syarat-syarat Saksi yang Adil

Agar kesaksian seseorang dapat diterima, maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)      Islam. Kesaksian orang kafir tidak akan diterima, baik memberikan keterangan kepada orang kafir atau orang Islam. Berdasarkan sabda Nabi SAW. :

لاَ تُقْبَلُ شَهَا دَةُ اَهْلِ دِيْنٍ عَلَى غَيْرِ دِيْنِ اَهْلِهِـمْ اِلاَّ الْمُسْلِمُوْنَ فَإِ نَّهُمْ عَدُوْلٌ عَلَى اَنْفُسِهِمْ
وَعَلَى غَيْرِهِمْ ( رواه البيهقى)
“ Tidak diterima kesaksian seorang beragama kepada orang yang beragama lain, kecuali orang Islam, sebab mereka adil pada dirinya dan pada orang lain.”( H.R. Baihaqi )

2)      Sudah dewasa atau baligh. Saksi harus baligh, maka tidak syah kesaksian anak meskipun hampir baligh.
3)      Berakal sehat. Orang gila tidak syah kesaksiannya, sebab tidak bisa menerangkan dirinya sendiri, lebih bagi orang lain.
4)      Orang yang merdeka.
5)      Adil, sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut :
 فإذا بلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو فارقوهن بمعروف وأشهدوا ذوي عدل منكم وأقيموا الشهادة لله ذلكم يوعظ به من كان يؤمن بالله واليوم الآخر ومن يتق الله يجعل له مخرجا ( الطلاق :۲)
“Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At Talaq/65: 2).

Untuk   dapat   dikatakan   adil,   seorang   saksi  harus  memenuhi  kriteria - kriteria  sebagai berikut :
1)      Menjauhkandiri dari perbuatan dosa besar.
Orang yang berbuat dosa besar disebut fasiq, rusak agamanya. Demikian juga orang yang terbiasa berbuat dosa kecil. Imam Syafi’i berpendapat : kalau saksi diketahui hariannya baik, maka diterima kesaksiannya.
2)      Menjauhkan diri dari kebiasaan dosa kecil.
3)      Menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah.
4)      Dapat mengendalikan diri dan jujur pada saat marah.
5)      Berakhlak mulia.

c.       Kesaksian Tetangga dan Orang Buta.

Saksi  harus adil, memberi  yang  ditolak adalah  saksi   yang   tidak adil, seorang musuh terhadap lawannya, ayah  pada  anaknya, anak  terhadap ayahnya, dan seorang yang numpang hidup yang  memberikan kesaksiannya  pada orang  yang  memberi jaminan kehidupan.
Kesaksian tetangga dapat diterima, selama mengetahui kejadian yang sebenarnya baik dengan pendengarannya atau penglihatannya. Sedangkan kesaksian  orang  buta dapat diterima dalam 5 hal, yaitu: nasab, kematian, hak milik  mutlak, terjemahan / salinan  dan hal-hal yang diketahui sebelum ia buta.
Menurut  Imam  Malik  dan Imam Ahmad, orang buta boleh menjadi saksi asal dia mendengar  suara,  tetapi  terbatas  dalam hal-hal tertentu. Misalnya : pernikahan, thalaq, jual beli, sewa menyewa, wakaf, pengakuan.
Berkata Ibnul Qayim : Aku berkata kepada Malik : “ Orang itu mendengarkan tetangganya dari balik dinding, akan tetapi dia tidak melihatnya. Dia mendengar tetangganya menceraikan istrinya, lalu dia menjadi saksinya. Dia mengambil dari suara “. Malik berkata : Kesaksiannya itu diperbolehkan.
Menurut Imam Syafi’i tidak diterima kesaksian orang buta, kecuali dalam lima tempat: nasab, kematian, milik mutlak, riwayat hidup dan tempatnya mengenai apa yang disaksikannya sebelum ia buta.
Sementara menurut Imam Abu Hanifah bahwa tidak diterima sama sekali kesaksian orang buta.
Kesaksian adakalanya dengan pendengaran adakalanya dengan penglihatan. Maka salah satu dari keduanya yang bisa membawa kesaksian diterima. Kesaksian masalah nasab, kematian, hak milik itu bisa dengan pendengaran. Maka kesaksian orang buta dalam hal ini bisa diterima. 

d.      Sangsi terhadap Saksi Palsu

Memberikan kesaksian palsu termasuk dosa besar diantara dosa-dosa besar dan kriminalitas yang paling besar pula, karena ia membantu orang yang zalim, menghancurkan hak orang yang dizalimi, menyesatkan peradilan, meresahkan hati, dan menyebabkan permusuhan di antara sesame manusia. Allah SWT. Berfirman :
ذلك ومن يعظم حرمات الله فهو خير له عند ربه وأحلت لكم الأنعام إلا ما يتلى عليكم فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور ( الحج : ۳۰)  
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”.(Q.S. Al-Hajj/22 : 30 )

Rasulullah bِersabda :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَنْ تَزُوْلَ قَدَمُ شَا هِدِالزُّوْرِحَتَّى يُوْ جِبُ الله ُ
لَهُ النَّارَ ( رواه ابن ماجه)
 “ Dari Ibnu ‘Umarbahwa Nabi saw. bersabda : Tidak akan lenyap kaki saksi palsu( mati) sampai Allah mewajibkan neraka baginya”. (H.R. Ibnu Majah)

Menurut Imam Malik, Asy-Syafi;I dan Ahmad meriwayatkan bahwa saksi palsu itu dihukum dengan ta’zir dan dipermaklumkan bahwa dia saksi palsu.
Imam Malik menambahkan, katanya : saksi palsu itu diumumkan di masjid-masjid, pasar-pasar dan di tempat-tempat berkumpulnya manusia pada umumnya, sebagai hukuman baginya dan peringatan bagi orang lain untuk melakukannya.

3.      Penggugat dan Bukti

a.      Pengertian Penggugat dan syarat-syaratnya

Materi  yang   dipersoalkan  oleh  kedua  belah  pihak  yang  terlibat  perkara dalam proses peradilan disebut gugatan. Sedangkan  penggugat adalah orang  yang  mengajukan gugatan karena merasa dirugikan oleh pihak tergugat (orang yang digugat).
Penggugat yang mengajukan gugatannya harus dapat membuktikan  kebenaan gugatannya disertai bukti-bukti yang kuat, saksi-saksi yang adil atau dengan melakukan sumpah dari penggugat sebagai berikut : “ Apabila gugatan saya tidak benar, maka laknat Allah atas diri saya”. Penggugat disebut juga dengan penuntut, pendakwa, penuduh mudda’i  .
Dakwaan itu tidak syah melainkan dari orang yang merdeka, berakal, baligh dan waras. Maka hamba sahaya, orang yang gila, orang yang tidak waras, anak-anak dan orang dungu tidak diterima dakwaan mereka. Sebagaimana syarat-syarat ini diwajibkan bagi pendakwa, maka syarat-syarat itu pun diwajibkan pula bagi orang yang mangkir terhadap dakwaan.Dakwaan itu tidak syah jika tidak disertai barang  bukti untuk membuktikan kebenarannya.
Cara menetapkan dakwaan adalah dengan ikrar, kesaksian, sumpah dan dengan dokumen resmi yang mantap.
   
b.      Bukti ( (البيّنة
Barang  bukti  atau  bayinah  adalah  segala  sesuatu  yang  ditunjukkan  oleh penggugat untuk  memperkuat  kebenaran dakwaannya. Barang bukti tersebut dapat berupa  surat-surat resmi, dokumen, dan barang-barang lain yang dapat memperjelas masalah (dakwaan) terhadap  terdakwa. Bila hal itu tidak ada, hal yang berfungsi adalah saksi. Hal ini sebagaimana sabagaimana sabda Rasulullah, bahwa kekuatan barang bukti adalah sebagai berikut :
 عَنْ جَا بِرٍ اَنَّ رَجُلَيْنِ اخْتَصَمَا فِى نَا قَةٍ فَقَا لَ كَلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نَتِجَتْ هَدِهِ النَّا قَةُ عِنْدِى وَاَقَامَ
بَيِّنَةً فَقَضَى بِهَارَسُوْ لُ الله ِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمِ لِمَنْ هِىَ فِى يَدَهِ ( الحد يث)
“ dari Jabir bahwasanya ada dua orang yang bersengketa tentang seekor unta betina, tiap di antara mereka menyatakan : Diperanakkan unta ini disisi saya, dan keduanya mengadakan bukti, maka Rasulullah SAW. memutuskan unta itu menjadi hak orang yang unta itu ada ditangannya ( al Hadits)

4.      Tergugat dan Sumpah

a.      Pengertian tergugat
Orang  yang  terkena  gugatan   dari  penggugat  disebut   tergugat.  Tergugat  dapat membela  diri  dengan membantah  kebenaran  gugatan  dengan  menunjukkan  bukti-bukti administrasi dan bahan-bahan  yang  meyakinkan, disamping  melakukan sumpah.
Bila seorang pendakwa mendakwakan suatu hak pada orang lain sedang dia tidak mampu mengajukan bukti, dan orang yang didakwa mengingkari hak itu, maka tidak ada cara lain selain dari sumpah dari orang yang didakwa. Yang demikian itu terlalu khusus dalam hal harta benda dan barang; akan tetapi tidak diperbolehkan dalam dakwaan hukuman dan hudud. Rasulullah bersabda :
اَلْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِيْنُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ (رواه البخارىومسلم)             
“Orang yang mendakwa (penggugat) harus menunjukkan bukti dan terdakwa (tergugat) harus bersumpah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

b.      Tujuan Sumpah dan Sumpah Tergugat

Apabila seorang pendakwa menuduh pada orang lain padahal tidak dapat mendatangkan barang bukti, dan orang yang terdakwa mengingkari hak itu maka tidak ada cara lain kecuali sumpah dari seorang terdakwa.
Bila sumpah yang ditawarkan kepada orang terdakwa karena tidak adanya bukti dari pendakwa, lalu orang yang terdakwa itu tidak berani dan tidak mau sumpah, maka ketidakberaniaanya untuk bersumpah itu dianggap sebagai pengakuannya atas dakwaan tersebut. Sebab seandaianya dia benar dalam keingkarannya, tentulah dia tidak enggan untuk bersumpah. Ketidakberanian untuk bersumpah terkadang terang dan terkadang ditunjukkan dengan diam.
Dalam keadaan yang demikian, sumpah tidak boleh dikembalikan kepada pendakwa; tidak ada sumpah bagim pendakwaatas kebenaran dakwaan yang didakwakannya, sebab sumpah itu selamanya dalam hal keingkaran.
Menurut Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad, bahwa ketidakberanian untuk bersumpah itu sendiri tidak cuckup untuk menghukumi orang yang didakwa, sebab ketidakberanian untuk bersumpah itu adalah hujjah yang lemah yang wajib diperkuat oleh sumpah orang yang mendakwa bahwa dia betul dalam dakwaannya. Apabila pendakwa mau bersumpah, maka dia dihukumi dengan dakwaannya  itu. Akan tetapi apabila dia tidak mau bersumpah, maka dakwaannya ditolak. 

Tujuan sumpah ada 2 :
1)      Menyatakan  tekat  untuk  melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab terhadap tugas tersebut.
2)      Membuktikan dengan sungguh-sungguh bahwa yang bersangkutan berada difihak yang benar.

Tujuan  sumpah   yang   kedua  inilah  yang   dilakukan   di   pengadilan.  Sumpah     tergugat adalah sumpah  yang  dilakukan  oleh  tergugat dalam rangka mempertahankan  diri  dari  tuduhan  penggugat  disamping  harus   menunjukkan     bukti-bukti tertulis dan bahan-bahan yang meyakinkan.

c.       Syarat-syarat Orang Bersumpah

Orang yang bersumpah harus memenuhi tiga syarat yaitu :
1)      Mukallaf, artinya orang yang sudah aqil baligh
2)      Didorong oleh kemauan sendiri tanpa paksaan dari siapapun
3)      Disengaja, bukan karena terlanjur dan lain sebagainya.

Ada tiga kalimat yang diucapkan untuk bersumpah, yaitu :

1)      . وَاللهِ    (Wallahi)
2)      . تالله        (Tallahi)
3)      .   بالله (Billahi)

Sebagaimana contoh sumpah yang dilakukan oleh Rasulullah sebagai berikut :

وَاللهِ  َلأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ  (رواه ابوداود)                                 
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan memerangi kaum quraisy, kalimat ini diucapkan tiga kali oleh Beliau.” (HR. Abu Daud).

Bagi orang yang melanggar sumpah wajib membayar kafarat ( denda ). Membayar kafarat dapat dilakukan dengan cara :

1)      Memberikan  makanan  pokok kepada sepuluh orang fakir miskin, masing-masing mendapat bagian ¾ liter
2)      Memberikan pakaian yang pantas pada sepuluh orang fakir miskin.
3)      Memerdekakan hamba sahaya.

Jika tidak dapat melaksanakan salah satu dari tiga hal tersebut, maka disuruh berpuasa selama tiga hari.

Firman Allah QS. Al Maidah: 89 :
لا يؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم ولكن يؤاخذكم بما عقدتم الأيمان فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم أو كسوتهم أو تحرير رقبة فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام ذلك كفارة أيمانكم إذا حلفتم واحفظوا أيمانكم كذلك يبين الله لكم آياته لعلكم تشكرون ( المائدة : ۸۹)
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”

C.    PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

1.      Dasar Hukum Peradilan Agama di Indonesia.

Di Indonesia terdapat tiga macam peradilan agama, yaitu :
a.       Peradilan agama yang berada di Jawa dan Madura. Dulu dikenal sebagai “Priesterrad” atau Raad Agama.
b.      Kerapatan Qadi, yaitu yang berada dibekas karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur yang diatur dalam Stbld 1937 No. 638 dan 639.
c.       Peradilan agama/Mahkamah Syari’iyah untuk luar Jawa dan Madura, sebagian Kalimantan Selatan.
Dasar hukum Peradilan Agama jaman Pemerintah Hindia Belanda adalah Stbl.1882 No.152 yo Stbl.1937 No. 116 dan 610 dan Stbl. 1937 No. 638.
Pada jaman kemerdekaan, dasar hukum Peradilan Agama adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama Mahkamah syar’iyah di luar Jawa-Madura.
Pasal (1) dari PP 45/1957 berbunyi sebagai berikut : “Di tempat –tempat yang ada Pengadilan Negeri dan sebuah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan Negeri “.
Dasar hukum peradilan agama di Indonesia adalah Undang-undang No 14 tahun 1970, yaitu  Undang-undang  tentang  ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pada pasal  10 ayat 1 ditetapkan sebagai berikut : “ Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
  1. Peradilan Umum
  2. Peradilan Agama
  3. Peradilan Militer
  4. Peradilan Tata Usaha Negeri

Pasal  tersebut  merupakan  pasal   yang  menetapkan  eksistensi badan peradilan di Indonesia, dimana peradilan tersebut harus dilaksanakan sesuai  dengan pasal 4 ayat 1 Undang-undang No 14 tahun 1970, yaitu : “Demi keadilan berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha Esa”. Maka  dengan  demikian Peradilan Agama harus   mengikuti  Undang-Undang tersebut.

Sebelumnya nama peradilan  tingkat  pertaama  di  Indonesuia  tidak  sama. Untuk wilayah hukum Pulau Jawa dan Madura  bernama  Peradilan  Agama.  Untuk  wilayah hukum  sebagian  Kalimantan  Selaatan / Timur  bernama Kerapatan Qodhi untuk wilayah hukum diluar kedua  wilayah diatas diberi nama Mahkamah Syari’ah.

      Akan tetapi untuk keseragaman nama disemua wilayah hukum di Indonesia, maka dikeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama No 6 tahun 1980 tertanggal 28 Januari 1980,  bahwa  nama peradilan  tingkat  pertama  adalah : “Peradilan  Agama”  dan  untuk tingkat bandingnya (Provinsi) diberi nama “Peradilan Tinggi Agama”.

      Pada tanggal 29 Desember 1989 terdapat pada  Undang-undang  No 7 tahun  1989 tentang Peradilan Agama sebagai dasar hukum bagi Peradilan Agama Islam  di Indonesia, maka peraturan perundangan yang sebelumnya dinyatakan tidak berlaku.


2.      Fungsi Peradilan Agama


Perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama di Indonesia adalah :
a.       Perselisihan antara suami istri yang beragama lain
b.      Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan penyelesaian atau penetapan hakim Islam.
c.       Menyatakan bahwa syarat jatuhnya talak yang digantungkan (ta’lig talaq) sudah ada.
d.      Memberi putusan perceraian.
e.       Mahar 9termasuk mut’ah)
f.       Perkara tentang kehidupan(nafkah) istri yang wajib diadakan oleh suami
Khusus wewenang bagi Pengadilan Agama /Mahkamah Syari’iyah di luar Jawa-Madura dan di luar sebagaian Kalimantan Selatan, kecuali hal-hal tersebut di atas ditambah :
a.       Hadanah
b.      Waris, mawaris
c.       Wakaf
d.      Sadaqah
e.       Baitul mal

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata yang diatur dalam Undang- undang.

Fungsi peradilan agama setelah berlakunya Undang-undang No 7 tahun 1989, dilaksanakan oleh Peradilan Agama  sebagai  Pengadilan Tingkat Pertama, dan oleh Pengadilan Tinggi Agama sebagai  pengadilan Tinggi Banding.

Pengadilan  Agama  sebagai  Pengadilan  Tingkat Pertama bertugas dan  berwenang Memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara antara orang beragama Islam di bidang   perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah  dan  sadaqah  berdasarkan  hukum  Islam.
Setelah berlakunya Undang-undang  Nomor 1 Tahun 1974 , maka Pengadilan Agama diberi tugas  untuk menyelesaikan dan memeriksa antara lain :

1.        Izin beristri lebih dari Seorang.
2.        Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (Dua Puluh Satu) tahun, dalam hal orang tua dan wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan  pendapat.
3.        Dispensasi kawin
4.        Pencegahan perkawinan
5.        Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6.        Pembatalan perkawinan
7.        Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri.
8.        Perceraian karena talak
9.        Gugatan perceraian
10.  Penyelesaian harta bersama
11.  Mengenai penguasaan anak-anak, Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya
12.  Penentuan  kewajiban  memberi  biaya  penghidupan  oleh  suami  kepada bekas isteri atau penentuan suami berkewajiban bagi bekas isteri.
13.  Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
14.  Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
15.  Perebutan kekuasaan wali.
16.  Penunjukan  orang  lain  sebagai  wali  oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang  wali dicabut .
17.  Menunjuk  seorang  wali  dalam  hal  seorang  anak  yang  belum cukup umur 18 (delapan belas)  tahun  yang  ditinggal  kedua  orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya.
18.  Pembebanan kewajiban ganti  kerugian  terhadap  wali  yang  telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang dibawah kekuasaannya.
19.  Penentuan asal usul seorang anak.
20.  Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran.
21.  Putusantentang sahnya perkawinan yang terjadi  sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang dijalankan menurut peraturan yang lain.

       Sedang bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi  ahliwaris, penentuan  harta  peninggalan,  penentuan  bagian  masing-masing  ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan yang dilakukan berdasar hukum Islam.

       Adapun  Pengadilan  Tinggi  Islam  sebagai Pengadilan Tinggi Tingkat Banding,  bertugas dan berwenang mengadili  perkara  yang  menjadi kewenangannya dalam tingkat banding, dan juga berwenang mengadili ditingkat pertama dan kedua / terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Selain  tugas  dan  kewenangan  sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49 dan pasal 51 UUPA Nomor 7 Tahun 1989,  pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkaan  Undang-undang.